Ketikamereka mengikuti pola yang dianjurkan Tuhan mengenai hidup dan pernikahan, maka Tuhan akan memberkati mereka dan memberikan mereka otoritas untuk menaklukkan bumi. Di keseluruhan Alkitab kita bisa menemukan ayat yang merujuk pada penyatuan kudus antara seorang pria dan istrinya. Dalam kitab Markus, Yesus berkata kepada orang-orang Farisi.
Wanita di dalam Firman TuhanKedudukan Wanita dan Perempuan dalam Alkitab1. Sebagai Penopang Pasangan2. Sebagai Penolong Pasangan3. Sebagai Pelengkap Pasangan4. Sebagai Pendukung PasanganWanita di dalam Firman – Kedudukan perempuan dalam Alkitab. Pada kesempatan yang lalu kami sudah membahas mengenai tanggung jawab suami terhadap istri dalam Kristen. Lalu di kesempatan ini kami ingin membahas dari sisi menerima hak dari suami, tentu saja seorang istri harus melakukan kewajibannya sesuai kedudukan dalam keluarga yang dikatakan Alkitab. Karena di masa sekarang wanita Kristen memiliki banyak peran dalam itu menjadi istri, orangtua, pelajar, atau profesi apa saja. Tertera jelas bahwa wanita bijak dalam Kristen adalah mereka yang taat kepada Allah dan harus memahami posisi serta dari itu pada kesempatan ini kami ingin membagikan beberapa ayat Alkitab atau firman Tuhan mengenai kedudukan perempuan. Anda bisa menyimak selengkapnya pada ulasan di bawah berikut Wanita dan Perempuan dalam AlkitabTanpa banyak basa basi kembali, langsung saja silahkan simak pembahasan mengenai kedudukan wanita dan perempuan dalam Alkitab. Simak pada ulasan di bawah Sebagai Penopang PasanganDan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawa-Nya kepada manusia 222Dijelaskan dalam Perjanjian Lama bagaimana sebenarnya asal-usul wanita menurut Allah. Wanita adalah tulang rusuk pria yang berarti kedudukannya sebagai penopang pasangannya. Bukan di atas atau di bawah, melainkan di sampingnya sehingga itulah sebabnya seorang wanita Kristen berhak untuk dihargai dan diperlakukan Sebagai Penolong PasanganDan laki-laki tidak diciptakan karena perempuan, tetapi perempuan diciptakan karena Korintus 119Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa perempuan diciptakan karena laki-laki. Sebab, laki-laki membutuhkan penolong dengan menjadikannya sebagai pasangan. Oleh karena itu peranan wanita Kristen tidak lain adalah sebagai penolong bagi Sebagai Pelengkap PasanganKarena Adam yang pertama dijadikan, kemudian barulah Timotius 213Firman Tuhan ini juga menjelaskan bahwa awalnya Allah menciptakan laki-laki terlebih dahulu baru kemudian perempuan. Di sini semakin jelas bahwa kedudukan wanita Kristen ada sebagai pelengkap laki-laki. Karena itu, wanita yang tidak tunduk pada suami atau pasangannya berarti telah melakukan dosa yang tidak sesuai dengan ketetapan Sebagai Pendukung PasanganKarena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala 524Pada ayat di atas juga dijelaskan bahwa kedudukan perempuan dalam Alkitab dijelaskan bahwa ia harus tunduk pada suami. Tentu kembali pada bahwa wanita sebagai penolong, bukan berarti jika suami mengalami kesalahan tidak dibenarkan. Namun tunduk dalam hal ini lebih kepada bisa menghormati dan menghargai keputusan suami dan kemudian mendukung segala yang baik yang dikerjakan oleh suaminya. Karena itu sebaiknya wanita perlu hikmat dan kebijaksanaan dalam KataMungkin cukup sekian pembahasan mengenai kedudukan perempuan dalam Alkitab. Semoga dengan ini kita bisa menjadi seorang istri yang lebih baik di mata suami dan yang Masuk ke dalam KristenTujuan Saksi Yehuwa dalam KristenTeks MC Resepsi Pernikahan Kristen
Teksteks ayat tentang kesetaraan. Jumlah teks - teks yang memarjinalisasikan perempuan memang cukup banyak dalam Alkitab, namun ini tidak berarti ayat-ayat yang setara gender dapat diabaikan. Padahal naskah teologi kesetaraan gender jelas diungkapkan di perjanjian Lama. Sebagaimana diungkapkan Rosemary Radford Ruether "Pernyataan penuh
Abstrak Peran perempuan pada masa kini bukanlah sesuatu yang tabu untuk diperbincangkan. Tulisan ini memuat kajian tentang perempuan, feminisme, kesamaanesensial laki-laki dan perempuan, pandangan teologis tentang perempuan, dan peranannya dalam pendidikan agama Kristen. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Yang bermaksud memahami suatu fenomena yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lainlain, secara holistik di dalam gereja. Cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Hasil dari penelitian ini adalah perempuan yang memiliki latar belakang Pendidikan Agama Kristen dapat berperan di dalam gereja sebagai pendeta Pendidikan Agama Kristen, pengajar, diaken, anggota di dalam badan atau komisi Pendidikan Agama Kristen, dan guru Sekolah Minggu. Ilmu pengetahuan tentang Pendidikan Agama Kristen yang dimiliki oleh kaum perempuan adalah anugerah Allah, yang sudahseharusnya untuk dikembangkan dan dipraktikkan di dalam Kunci Perempuan, Pendidikan Agama Kristen Gereja To read the full-text of this research, you can request a copy directly from the author.... Surya dan Maknata membahas kajian gender perempuan hanya di dalam 1 Timotius 28-12 Makanata, 2018;Surya et al., 2020. Sedangkan Kalintabu membahas tentang peranan perempuan dalam Pendidikan Agama Kristen Kalintabu, 2020. Dari keempat peneliti sebelumnya, peneliti akan merekonstruksi teologi berbias gender se-bagai respons terhadap isu kesetaraan gender sehingga Kekristenan dapat memberdayakan perempuan secara alkitabiah di dalam pelayanan gerejawi maupun di luar gereja. ...Aya SusantiAdanya ambiguitas dalam denominasi gereja tentang penahbisan pendeta perempuan menyulitkan perempuan menjadi pemimpin gereja. Ini juga mengaplikasikan standar ganda dalam penatalayanan perempuan, baik di dalam maupun di luar gereja. Studi tentang perempuan bertujuan untuk memperbaiki kerusakan dan distorsi yang ada, serta memperhatikan hal-hal yang biasanya diabaikan. Tujuan dari studi ini adalah agar kekristenan bisa memberikan konsep yang sesuai dengan Alkitab dan akurat untuk mendukung pemberdayaan perempuan. Tujuan akhirnya adalah untuk merekonstruksi teologi yang berbias gender sebagai jawaban atas isu kesetaraan gender, sehingga kekristenan bisa memberdayakan perempuan secara Alkitabiah dalam pelayanan gereja maupun di luar gereja.... Kalau kita dapat memahami ayat-ayat ini dengan baik, kita akan menemukan bahwa ayat-ayat ini memperlihatkan laki-laki dan perempuan dengan status sosial yang sama Telnoni, 2020. Kalintabu 2020 1-31. Kemudian, seorang laiki-laki bernama Yesaya yang memiliki sikap yang sangat lembut dan rendah hati Yes. ... Yunardi Kristian ZegaGender equality is still an interesting issue to be discussed today. Most people, especially those living in various regions in Indonesia, still misinterpret this. Gender equality is seen as an act that puts women first. In Christian circles, this thought is caused by Christian leaders in the past who gave teachings about gender who had unfair treatment between men and women. To provide a solution to these problems, the author uses qualitative research with the literature study method. The author finds that, gender is a characteristic that can be exchanged between each other and can be shared by both. Allah distinguishes the sexes but does not differentiate between the roles of the two. Thus, PAK plays a vital role in building gender understanding in the family and community, especially in the field of education, and in the field of education. AbstrakKesetaraan gender masih menjadi isu menarik untuk diperbincangkan hingga saat ini. Sebagian besar masyarakat khususnya yang tinggal di berbagai wilayah di Indonesia, masih salah mengartikan hal tersebut. Kesetaraan gender seolah-olah dianggap sebagai tindakan menomorsatukan perempuan. Dalam lingkungan Kristen, pemikiran ini disebabkan karena adanya para tokoh Kristen di masa lalu yang memberikan ajaran tentang gender yang membuahkan perlakuan tidak adil antara laki-laki dengan perempuan. Untuk memberi solusi permasalahan tersebut, penulis menggunakan penelitian kualitatif dengan metode studi pustaka. Penulis menemukan bahwa, gender adalah sebuah karakteristik yang dapat saling dipertukarkan antara satu sama lain dan dapat dimiliki oleh keduanya. Allah membedakan jenis kelamin manusia tetapi tidak membedakan peran antara keduanya. Dengan demikian, PAK berperan penting untuk membangun pemahaman kesetaraan gender di dalam lingkungan keluarga, masyarakat khususnya di bidang pendidikan, dan di SantosaJovita Elizabeth AbrahamAmirrudin ZalukhuGod created male and female in His image Gen. 127. According to the image, it means that there is equality of men and women before God. In life, there are indeed differences in performing functions. The man as the husband becomes the head of the household while the wife becomes the helper. This difference aims for harmony and regularity in the order of life in the family. Recently, a feminist movement has fights for equal rights and opportunities between men and women. This movement is closely related to efforts to fight the domination, exploitation, and repression of an unfair system against women. This movement is closely related to efforts to fight the domination, exploitation, and repression of an unfair system against women. The gender equality movement tries to fight for balance, equality, and equivalence of the roles and/or responsibilities of men and women in things that are not natural, such as rights, opportunities, work relations between men and women. In the family, the wife is the co-heir of grace for a husband. The Apostle Peter warned, “Husbands, live wisely with your wives, as the weaker people! Honour them as co-heirs of the grace of life, that your prayers may not be hindered” 1 Peter 37. This study uses a descriptive qualitative method using a narrative study approach to Titus 2 MibtadinThe presence of Islamist activism in Ngargoyoso encourages the role of places of worship from places of voice of harmony to mouthpieces of intolerance. Sekar Ayu's interfaith women community counters the intolerant narrative. How did Sekar Ayu proclaim peace in Ngargoyoso? The purpose of this study is to determine the role of Sekar Ayu in building peace in Ngargoyoso. This research is a descriptive qualitative research with a sociology of religion approach. Data collection was through direct observation, in-depth interviews, and documentation. Its data analysis uses interactive analysis models including data reduction, data delivery, and conclusions. Sekar Ayu's interfaith women community as a social movement of Ngargoyoso civil society is actively developing a culture of peace. First, Sekar Ayu actively builds communication and dialogue between religious groups and advocates for humanitarian and religious issues at the lower community level based on places of worship. Second, Sekar Ayu became a space for interfaith community encounters with various activities such as places of worship and family gatherings in it with discussions about religious, social, and cultural issues as a form of life dialogue. Third, Sekar Ayu empowers interfaith women to build a mutually beneficial life between religious groups. Fourth, Sekar Ayu's activities are expected to be a dialogue of sustainable life by emphasizing an inclusive, pluralist perspective, by promoting religion as a social SetiantoThe issue of Gender does not yet have a common ground. Women are always considered weak and helpless human beings. However, in some ethnic groups in Indonesia, the opposite is true. Men are deemed to have no value to women. This study aims to examine the concept of gender equality from a biblical perspective. As the primary source of teaching authority, the Bible provides a solid picture of gender equality. The research method used is exploratory qualitative. The results of the study state that the Bible consistently discusses the principle of gender equality. Because gender equality is essential, many activists voice this principle in the struggle for human rights. Therefore, viewing humans as the noblest created beings is the basis for this struggle for gender equality. Thus, opportunities and responsibilities in all aspects of life own by all humans and created by has not been able to resolve any references for this publication. Absennyanarasi keagamaan arus utama yang lebih ramah LGBTQ turut menjadi alasan Kakay Pamaran, aktivis kesetaraan gender dan pengajar Alkitab asal Filipina, untuk memutuskan menjadi pastor. Pamaran merasa tidak puas dengan interpretasi Alkitab yang seolah terus mengucilkan kelompok LGBTW, padahal relasi dengan Tuhan seharusnya urusan personal.

Keywords Yesus, Alkkitab, Kesetaraan Gender, Agama Kristen, Diskriminasi Abstract Tujuan dari penelitian ini adalah pemahaman kesetaraan gender dalam agama tentang kesetaraan gender, rasanya tidak tepat kalau tanpa menyinggung tentanglaki-laki, hal ini dikarenakan perempuanlah yang sering menjadi korban atau mengalamikekerasan baik dalam rumah tangga, lingkungan budaya maupun dalam lingkungan organisasidan masyarakat. Diakui bahwa paham budaya terkadang berdampak terhadap perempuandalam agama Kristen. Sikap Yesus terhadap perempuan menjadi suatu kekuatan untukmerombak diskriminasi terhadap perempuan yang terjadi akibat kesalahan dalam menafsirteks-teks Alkitab

a Perjanjian Lama adalah Bagian dari Rencana Allah. Cara Allah menyatakan Diri-Nya kepada manusia adalah dengan memberikan Penyataan Umum dan Penyataan Khusus, yaitu melalui alam, sejarah, hati nurani manusia dan juga melalui Firman dan Anak-Nya, Yesus Kristus. Di dalam Penyataan-penyataan inilah Allah menyatakan Diri-Nya dan rencana-Nya يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَىٰ وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Mahamengetahui lagi Mahamengenal.” Disebutkan dalam ayat ini, penciptaan manusia berasal dari seorang laki-laki dan perempuan. Zamakhshari, Razi dan Baydhawi, sebagaimana diungkapkan Muhammad Asad dalam The Message of the Quran, menjelaskan manusia diciptakan Allah dari seorang ayah dan ibu. Artinya, kesamaan asal mula biologis ini mengindikasikan adanya persamaan antara sesama manusia, laki-laki maupun perempuan. Refleksi lain ayat di atas ialah manusia secara keseluruhan membentuk sebuah keluarga global. Sehingga, sebetulnya tidak perlu ada semacam superioritas satu golongan atau bangsa terhadap yang lainnya. Di sini, semangat moral ayat di atas menegaskan tidak adanya superioritas yang satu dengan yang lainnya. Keduanya makhluk Allah yang saling dimuliakan Pencipta-Nya. Untuk itu Tuhan menyatakan keturunan Adam itu telah dimuliakan QS al-isra 70 dengan tingkat intelektualitas juga kecakapan memilih QS Al-Baqarah 31-35. Dari penjelasan di atas kita bisa simpulkan bahwa Alquran menawarkan equalitas laki-laki dan perempuan. Sayangnya, ayat-ayat itu pamornya terkalahkan beberapa ayat Alquran yang juga sering diartikan sebagai landasan inferioritas perempuan. Salah satu ayat yang sering jadi rujukan adalah ayat ke-34 surat an-Nisa الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka laki-laki atas sebahagian yang lain wanita, dan karena mereka laki-laki telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.” Perkataan qowwamun sering diartikan sebagai pemimpin. Konsekuensinya ayat ini memposisikan yang memimpin dengan yang dipimpin. Penafsiran ini tidak salah. Tapi masalahnya, kalau ekspresi itu dijadikan landasan ketidaksejajaran laki-laki dengan perempuan, sudah tentu merupakan sebuah upaya untuk menggeneralisasi misi Alquran. Dan yang disayangkan, penafsiran itu kemudian diwariskan dari generasi ke generasi dengan formula bahwa laki-laki lebih superior dari perempuan. Padahal perkataan qawwam, sebagaimana dijelaskan penafsir kontemporer Asad, berarti seseorang yang bertanggung jawab untuk memelihara barang maupun orang. Kalimat ''qama 'ala mar'ihi'' bermakna ''dia bertanggung jawab mengayomi seorang perempuan.'' Jadi, laki-laki bertanggung jawab mengayomi perempuan yang menjadi bagian dari tanggung jawabnya dan tidak ada hubungannya dengan satu pihak lebih superior dari pihak lainnya. Ayat yang juga rujukan bagi superioritas laki-laki adalah surat Ali Imran ayat 36. فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ رَبِّ إِنِّي وَضَعْتُهَا أُنْثَىٰ وَاللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا وَضَعَتْ وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالْأُنْثَىٰ ۖ وَإِنِّي سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَإِنِّي أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ “Maka tatkala istri 'Imran melahirkan anaknya, diapun berkata "Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada pemeliharaan Engkau daripada syaitan yang terkutuk". Di situ dikisahkan ketika istri Imran hamil dia berniat menadharkan anaknya untuk mengabdikan diri pada Allah. Ternyata anak yang lahir perempuan, bukan laki-laki seperti yang diharapkan. Namun yang terpenting dari ayat ini adalah ungkapan ''tiadalah laki-laki sama dengan perempuan.'' Kata-kata terakhir ini telah menjadi mitos tersendiri di kalangan umat Islam bahwa kedudukan laki-laki dan perempuan tidaklah sama. Padahal kalau dicermati lebih dalam makna penggalan ayat itu memiliki semangat moral yang lebih berarti dari sekadar kata-kata yang termaktub di situ. Muhammad Asad cf. 25 misalnya menjelaskan implikasi tersebut bahwa Maryam, meski perempuan, memiliki keutamaan jauh lebih besar dibanding kelahiran laki-laki yang pernah diimpikan sang ibu. Dari interpretasi ayat itu, tak sedikit pun menyinggung bahwa kedudukan perempuan lebih rendah atau lebih tinggi. sumber Harian Republika Inilah8 ayat Alkitab yang menentang LGBT (lesbian, gay, bisexual, transgender). Kamu pasti tahu bahwa saat ini para pendukung dan mereka yang terlibat secara aktif di LGBT mulai terang-terangan mengumbar diri mereka di media, baik melalui TV atau Online. Alkitab jelas mencatat bahwa Tuhan menciptakan manusia adalah laki-laki dan perempuan. ArticlePDF Available AbstractThis article with a title The Equality and Distinction Between Man and Woman A Critique to the Feminist Movement", will firstly discuss about the feminist movement comprehensively and afterward itu will discuss about the feminist movement within Christianity, gender-equality issues, as well as the distinction between man and woman from the view of Christian feminism. After these, it will be discussed gender-equality issues and the distinction between man and woman from the perspective of Reformed theology. Then a critique to the feminist movement within Christianity will be discussed. The finding of this article is that the feminist movement within Christianity has indeed grown a better appreciation for the woman, especially in the equality between man and woman wich is a reality. The consequence is the authority of the Bible is accused by this Christian feminist movement. KEYWORDS feminism, Christian feminism, equality, distinction, Reformed theology. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for freeContent may be subject to copyright. KESETARAAN DAN PERBEDAAN LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN KRITIK TERHADAP GERAKAN FEMINISME Lina Gunawan STT Reformed Injili Internasional ABSTRACT This article, with a title “The Equality and Distinction between Man and Woman A Critique to the Feminist Movement”, will firstly discuss about the feminist movement comprehensively and afterward it will discuss about the feminist movement within Christianity, gender-equality issues, as well as the distinction between man and woman from the view of Christian feminism. After these, it will be discussed gender-equality issues and the distinction between man and woman from the perspective of Reformed theology. Then, a critique to the feminist movement within Christianity will be discussed. The finding of this article is that the feminist movement within Christianity has indeed grown a better appreciation for the woman, especially in the equality between man and woman. However, this movement ignores the distinction between man and woman which is a reality. The consequence is the authority of the Bible is accused by this Christian feminist movement. KEYWORDS feminism, Christian feminism, equality, distinction, Reformed theology. ABSTRAK Artikel yang berjudul “Kesetaraan dan Perbedaan Laki-laki dan Perempuan Kritik terhadap Gerakan Feminisme” ini pertama-tama akan memaparkan mengenai gerakan feminisme secara menyeluruh, dan kemudian memaparkan mengenai gerakan feminisme dalam kekristenan, serta tema-tema kesetaraan, perbedaan laki-laki dan perempuan dalam pandangan feminisme Kristen. Kemudian dipaparkan mengenai tema-tema SOCIETAS DEI Vol. 3, No. 2 Oktober 2016 289 kesetaraan dan perbedaan laki-laki dan perempuan dari perspektif teologi Reformed. Setelah itu akan dipaparkan mengenai kritik terhadap gerakan feminisme dalam kekristenan. Temuan dalam tulisan ini adalah gerakan feminisme dalam kekristenan memang telah menumbuhkan kesadaran baru terhadap penghargaaan yang lebih baik terhadap perempuan, secara khusus dalam kesetaraan laki-laki dan perempuan. Namun, gerakan ini mengabaikan perbedaan laki-laki dan perempuan yang adalah sebuah realitas. Akibatnya, otoritas Alkitab mendapat gugatan dari gerakan feminisme Kristen ini. KATA KUNCI feminisme, feminisme Kristen, kesetaraan, perbedaan, teologi Reformed. Gerakan Feminisme merupakan sebuah gerakan yang lahir pada abad ke-18, sebagai sebuah respons terhadap tatanan masa sebelumnya. Mulai saat itu muncullah istilah “feminisme”. Lahirnya gerakan Feminisme ini seiring dengan timbulnya kesadaran baru terkait posisi sebagai sebuah pola relasi yang menempatkan laki-laki sebagai subyek, yaitu kaum superior yang mendominasi kaum perempuan. Jadi gerakan Feminisme adalah gugatan terhadap hegemoni laki-laki terhadap perempuan. Pada awalnya, tuntutan kaum feminis merupakan sebuah tuntutan atas hak dasar sebagai seorang manusia. Kaum feminis menuntut kesempatan berkiprah di bidang politik, pendidikan dan ekonomi. Namun dalam perkembangannya, tuntutan itu melampaui lebih dari sekadar hak dasar, di mana tuntutan itu juga menyangkut perlunya definisi ulang relasi antara laki-laki dan perempuan. Gerakan feminisme ini penulis sebut sebagai feminisme radikal. Tulisan ini akan memberikan kritik terhadap pandangan feminisme radikal tersebut, karena sekalipun kesetaraan jenis kelamin merupakan sesuatu yang dapat diterima secara umum, namun secara substansi, apa yang dituntut oleh kaum feminis radikal ini, dapat menimbulkan persoalan baru di dalam konteks relasi antara laki-laki dan perempuan. Periode yang 290 GERAKAN FEMINISME terutama mempengaruhi pandangan Feminisme Kristen adalah feminisme gelombang pertama dan kedua. Dengan demikian penulis membatasi pembahasan ulasan tuntutan feminisme terkait relasi laki-laki dan perempuan hanya pada kedua gelombang Feminisme ini tersebut. Gerakan Feminisme Sejarah perkembangan Feminisme dapat dikategorikan di dalam tiga gelombang waves. Gelombang pertama dimulai pada abad ke-18 dan ke-19, khususnya di Amerika dan Inggris, yang kebanyakan memperhatikan penderitaan universal dan hak untuk mendapatkan kontrak hukum dan ekonomi. Perjanjian pertama untuk kaum feminis diprakarsai oleh Mary Wollstonecraft, dalam bukunya A Vindication of the Rights of Women 1792. Ia memperjuangkan hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan dan posisi di masyarakat, dengan demikian perempuan bukan menjadi “ornamen” namun sebagai “pendamping” bagi suaminya. Ini ditulis sebagai respons untuk hak asasi manusia yang dicetuskan oleh dikenal sebagai orang yang berpengaruh untuk gerakan feminisme di Inggris. Sedangkan di Amerika adalah Elizabeth Cady Stanton 1805-1902 yang memenangkan hak perempuan untuk memilih, bersama Susan B. Anthony yang secara aktif memperjuangkan penghapusan perbudakan dan hak asasi perempuan. Stanton juga menerbitkan Alkitab Perempuan pada gelombang kedua, Feminisme berkembang pesat di tahun 1960 dan 1970-an. Selama perang dunia kedua, banyak kaum perempuan mengalami hidup di luar rumah dengan cara baru, mereka mendapatkan Mary Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of Woman With Strictures on Political and Moral Subjects New York 1999, 118. Anthony C. Thiselton, Hermeneutics An Introduction Grand Rapids Wm B. Eerdmans Publishing Co, 2009, 283. SOCIETAS DEI Vol. 3, No. 2 Oktober 2016 291 pekerjaan yang vital dan kebebasan baru. Mereka dipengaruhi oleh tulisan Betty Friedan dalam bukunya Feminine Mystique tahun 1963 dan Perjanjian Kennedy yang membentuk komisi yang khusus membahas tentang status ketiga Feminisme terjadi tahun 1990-an. Isu yang muncul bukan isu baru, masih sama dengan isu sebelumnya, namun berkembang secara intensitas. Dari apa yang diperlihatkan oleh gerakan Feminisme, tampak jelas bahwa apa yang menjadi tuntutan dan persoalan dari gerakan ini adalah kesetaraan antara laki-laki dengan perempuan. Menurut kaum feminis, apa yang disebut dengan kesetaraan jenis kelamin adalah sebuah tuntutan kesamaan hak baik laki-laki maupun perempuan di dalam setiap aspek kehidupan. Sekalipun kesetaraan jenis kelamin merupakan sesuatu yang dapat diterima secara umum, namun secara substansi, apa yang dituntut oleh kaum feminis, dapat menimbulkan persoalan baru di dalam konteks relasi antara laki-laki dan perempuan. Pada awalnya, tuntutan kaum feminis merupakan sebuah tuntutan atas hak dasar sebagai seorang manusia. Kaum feminis menuntut kesempatan di dalam bidang politik, pendidikan dan ekonomi, namun dalam perkembangan berikutnya, tuntutan itu telah melampaui lebih dari sekadar hak dasar, di mana tuntutan itu juga menyangkut perlunya definisi ulang relasi antara laki-laki dan perempuan. Tentu saja, tuntutan ini mempunyai implikasi yang sangat luas bagi seluruh aspek kehidupan manusia. Kesetaraan Laki-laki dan Perempuan Kesetaraan laki-laki dan perempuan merupakan isu yang diusung Feminisme gelombang pertama. Feminisme menuntut kesetaraan di 292 GERAKAN FEMINISME berbagai bidang kehidupan, pendidikan, politik, ekonomi, dan sosial. Ini dapat dipahami karena pada awal abad pertama era Kristen, perempuan secara umum, mengacu pada Hawa sebagai pelaku dosa pertama, dipandang sebagai penggoda dan bermoral rendah. Pada tahun 1776, Abigail Adams, seorang istri anggota Kongres Amerika menulis kepada suaminya, John Adams, agar hak perempuan dimasukkan ke dalam hukum. Namun baru satu abad yang lalu perempuan memperoleh hak untuk memilih; memperoleh pembayaran yang sama untuk pekerjaan yang sama yang dilakukan oleh kaum laki-laki; dan juga bersama-sama dengan kebebasan manusia secara umum di Amerika. Feminisme gelombang pertama ini terjadi di Eropa dan Amerika. Para pejuang ini membentuk kelompok-kelompok untuk memperjuangkan hak perempuan. Mereka percaya bahwa perempuan akan menjadi warga negara yang mempunyai hak penuh di dalam hukum internasional jika mereka memperoleh kesetaraan di dalam pekerjaan, pendidikan yang lebih tinggi, akses memasuki ranah publik dan kebebasan memiliki materi. Mereka terus memperjuangkan hak pilih, tunjangan keluarga, penggunaan alat kontrasepsi, aborsi dan hak untuk memperoleh kesejahteraan bagi perempuan yang bekerja di rumah, undang-undang perlindungan dan status perempuan. Di ranah politik, kelompok-kelompok ini membongkar kekerasan dan perang internasional. Gelombang ini berhasil menciptakan identitas politik bagi perempuan, memenangkan kemajuan hukum dan juga emansipasi publik bagi zaman ini mewarnai tulisan-tulisan beberapa tokoh yang memperjuangkan hak perempuan di gelombang pertama ini. Mary Wollstonecraft, seorang penulis dan filsuf Inggris abad ke-18, yang Margaret Elizabeth Kostenberger, Jesus and the Feminists Who Do They Say That He Is? Wheaton, Illinois Crossway Books, 2008, 17. Maggie Humm, ed., Feminisms A Reader New York Harvester Wheatsheaf, 1992, 11-4. SOCIETAS DEI Vol. 3, No. 2 Oktober 2016 293 memperjuangkan hak asasi perempuan, di dalam bukunya A Vindication of the Rights of Woman 1792, berpendapat bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai kapasitas yang sama, sebagai gambar dan rupa Allah, oleh sebab itu perempuan juga berhak memperoleh kesempatan yang setara dalam mendapatkan pendidikan, sehingga memungkinkannya mengembangkan kapasitas rasional dan moral, bukan hanya sensibilitasnya saja, untuk dapat mengembangkan potensinya menjadi manusia yang lengkap. Wollstonecraft menegaskan, perempuan yang sungguh-sungguh terdidik akan mempunyai kemampuan untuk mengatur rumah dua abad setelah itu, kesetaraan laki-laki dan perempuan masih belum mencapai hasil yang maksimal seperti apa yang diharapkan dari perjuangan Wollstonecraft. Hal ini didapati oleh Maggie Humm di dalam tulisan Adeline Virginia Woolf, seorang penulis dan modernis yang juga berasal dari Inggris, A Room of One’s Own 1929. Ia menggambarkan bagaimana perempuan masih didominasi oleh laki-laki, baik secara sosial maupun secara fisik. Perempuan menjadi korban laki-laki, oleh karena itu perempuan seharusnya menolak nilai-nilai dari masyarakat patriark. Ia berpendapat bahwa isolasi domestik dan isolasi profesionalitas perempuan adalah puncak dari dominasi material dan ideologi laki-laki terhadap perempuan, namun ironisnya, ia mendapati secara de facto, perempuan malah sebenarnya ikut berkolusi’ dan punya andil juga di senada juga dikatakan oleh Simone Lucie Ernestine Marie Bertrand de Beauvoir—biasanya dikenal sebagai Simone de Beauvoir—seorang filsuf, aktivis politik dan feminis dari Perancis, di dalam bukunya Second Sex 1949. Pendapat ini dikutip oleh Humm, yang menyatakan bahwa masyarakat membentuk norma yang positif tentang laki-laki dan Wollstonecraft, A Vindication of the Rights of Woman, 127, yang dikutip oleh Rosemarie Tong, Feminist Thought A Comprehensive Introduction Boulder, Colo. Westview Press, 1989, 14-6. Maggie Humm, ed., Feminisms A Reader, 21. 294 GERAKAN FEMINISME negatif untuk perempuan. Perempuan dianggap kelas dua, dan disebut sebagai “yang lain/liyan”. Dalam tulisannya, Beauvoir membedakan antara jenis kelamin/gender fungsi sosial dan seks natur perempuan. Di dalam fungsi sosialnya, perempuan saling bergantung satu dengan yang lainnya dalam fungsi keibuannya motherhood, sedangkan di dalam hal natur perempuan, seseorang dikatakan sebagai perempuan itu bukan karena faktor biologisnya. Ia percaya bahwa tujuan revolusi perempuan hanya dapat dicapai dengan pembebasan perbedaan biologis dan pembebasan kemampuan rasional. De Beauvoir memberi kontribusi yang besar terhadap feminisme gelombang kedua, di antaranya pemikiran tentang adanya dikotomi antara perbedaan perempuan dan laki-laki, termasuk serangannya terhadap diskriminasi laki-laki secara biologis, psikologis dan ekonomis terhadap perempuan. Tulisan de Beauvoir ini mengantarkan feminisme kepada gelombang Amerika, Seneca Falls Resolution, “The Declaration on Women’s Rights” 1848 yang memperjuangkan hak pilih bagi perempuan, pada umumnya dipercaya menjadi agenda yang membayangi gerakan feminisme liberal. Betty Friedan menjadi tokoh feminisme terkemuka di Amerika. Ia mendirikan The National Organisation of Women NOW tahun 1966, yang memperjuangkan kesetaraan hak sipil, kesetaraan akses untuk pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan serta kesetaraan pembayaran upah bagi perempuan. Ia berpendapat, di dalam karya tulisnya The Feminine Mystique 1963, bahwa dengan hanya menjadi istri dan ibu bagi anak-anak, akan membuat perempuan menjadi bosan. Ia mengakui bahwa memang tugas ini adalah bagian dari hidup perempuan, namun bukan merupakan tugasnya sepenuh waktu. Perempuan harus mencari waktu untuk mengembangkan dirinya menjadi manusia yang utuh, yaitu dengan bekerja secara kreatif di Maggie Humm, ed., Feminisms A Reader, 44-5. SOCIETAS DEI Vol. 3, No. 2 Oktober 2016 295 luar The Feminine Mystique yang pertama kali terbit tahun 1963 ini, dianggap sebagai pemicu munculnya feminisme gelombang kedua di Amerika abad ke-20. Namun demikian, dua puluh lima tahun kemudian Friedan mempertimbangkan ada kesulitan dalam mengombinasikan antara pernikahan, menjadi ibu dan menjalankan karir secara sekaligus. Oleh karena itu di dalam tulisan selanjutnya yaitu The Second Stage, Friedan berpendapat bahwa Feminisme yang baru akan menuntut perempuan bekerja sama dengan laki-laki untuk melepaskan diri dari akibat yang ditimbulkan oleh Feminist Mystique, yaitu bahwa perempuan mengabaikan cinta, kasih sayang dan rumah. Ia mendapati bahwa perempuan tidak dapat dilepaskan dari kemanusiaannya di dalam kerangka hubungannya dengan laki-laki sebagai seorang istri, ibu dan perawat rumah. Dengan cara inilah, ia memperbaharui pemikirannya bersama-sama dengan laki-laki, perempuan dapat mengembangkan nilai-nilai sosial, kepemimpinan dan struktur institusional sehingga memungkinkan kedua jenis kelamin ini mencapai pemenuhannya, baik di dunia publik ataupun di dunia privat, demikian yang dikupas oleh Rosemarie Tong dalam buku Feminist dalam karyanya The Second Stage, Friedan mulai menyadari bahwa pekerjaan tanpa keluarga justru akan membuat perempuan kesepian I was the first woman in management here. I gave everything to the job. It was exciting at first, breaking in where women never were before. Now it’s just a job. But it’s devastating loneliness that’s the worst. I can’t stand coming back to this apartment alone every night. I’d like a house, maybe a garden. Maybe I should have a kid, even without a father. At least then I’d have a family. There has to be some better way to live. Betty Friedan, The Feminine Mystique New York Dell, 1974, 69-70. Rosemarie Tong, Feminist Thought, 24. Betty Friedan, The Second Stage New York Summit Books, 1981, 20-1. 296 GERAKAN FEMINISME Semangat zaman ini juga mempengaruhi gereja, khususnya perempuan dalam gereja secara teologis. Periode sejarah gereja, yang mengantar kepada Reformasi Protestan yang kepemimpinan gerejanya masih dipegang oleh laki-laki, adalah periode dimulainya kebangkitan feminisme. Reformasi itu sendiri mendorong setiap orang percaya membaca dan meneliti Alkitab, hal inilah yang membangkitkan benih yang membawa kesadaran akan nilai-nilai perempuan. Kesadaran inilah yang membuat sebagian perempuan, mengokohkan pendapatnya bahwa mereka mempunyai hak untuk berkhotbah dan mengajar. Terbukti dengan Grimke bersaudari, Sarah Moore Grimké 1792–1873 dan Angelina Emily Grimké 1805–1879, penulis, orator dan pendidik yang terlibat di dalam gerakan Quaker dan Abolitionist. Mereka memberi sumbangsih dengan menerbitkan risalah “Appeal to the Christian Women in the South” 1836 dan “Letters on the Equality of Sexes and the Condition of Women” 1837. Mereka masing-masing mengklaim bahwa Alkitab disalah mengerti dan salah interpretasi tentang perempuan. Merebaknya perempuan yang aktif di dalam pelayanan kekristenan mencapai puncaknya di dalam tulisan Elizabeth Cady Stanton bersama dengan dua puluh penulis perempuan, The Woman’s Bible 1895, 1898. Karya tulis ini lebih menyerupai buku tafsiran dibanding sekadar terjemahan. Stanton sendiri tidak menganggap Hukum Taurat Musa diinspirasikan,namun ia mengakui bahwa Alkitab melandasi hukum dan kebudayaan Barat yang didominasi oleh laki-laki. Ia percaya bahwa emansipasi W. Baird, History of New Testament Research, Vol. 2 From Jonathan Edwards to Rudolf Bultmann Minneapolis Augsburg Fortress, 2003, 331-32, 335-37. Quaker adalah sekelompok orang percaya dari berbagai denominasi di mana setiap orang yang tergerak oleh Tuhan boleh bicara memberitakan Firman dari Amerika Selatan pada abad ke-19. Abolitionist adalah yang menentang perbudakan dan memperjuangkan hak perempuan. Dayton, Discovering an Evangelical Heritage New York Harper, 1976, 89-91. Elizabeth Cady Stanton, The Woman’s Bible repr. New York Arn, 1972 [1895], 12. SOCIETAS DEI Vol. 3, No. 2 Oktober 2016 297 perempuan tidak mungkin terjadi jika posisi Alkitab tentang perempuan tetap diterima, karena Alkitab dianggap menjunjung kebudayaan patriark. Stanton memakai pendekatan “higher criticism”untuk mengikis otoritas Alkitab, terutama dalam hal pengajaran tentang Laki-Laki dan Perempuan Apabila pada gelombang pertama, feminisme membahas tentang kesetaraan dan perempuan mempunyai potensi yang sama dengan laki-laki, sedangkan pada gelombang kedua, pejuang feminisme justru lebih fokus pada perbedaan perempuan dengan laki-laki dan dengan perempuan itu sendiri, sebagai usaha menjadikan perempuan sebagai warga negara yang otonom. Gelombang ini mengarah kepada psikoanalisis juga kepada teori sosial tentang keberbedaan jenis kelamin untuk menciptakan etika feminist yang baru. Feminisme gelombang kedua menggunakan keberbedaan perempuan untuk melawan legalitas dunia patriarkal dan mengarah kepada formasi yang radikal. Argumen-argumen mengenai moral solidaritas yang diciptakan berdasarkan pendirian dan identitas pembela hak perempuan, reproduksi’, pengalaman’, perbedaan’ menjadi isu penting di gelombang kedua gelombang pertama dan kedua sama-sama mendapati bahwa penindasan terhadap perempuan ini terkait pada seksualitasnya. Gelombang kedua mengambil isu reproduksi sebagai titik awal untuk memperjuangkan emansipasi di berbagai bidang. Para pembela hak perempuan percaya bahwa masalah takdir biologis inilah yang membuat perbedaan perempuan dan laki-laki, terutama di bidang ekonomi yaitu Higher Criticism adalah kritik terhadap teks Alkitab dengan mempermasalahkan hal-hal lain di luar teks Alkitab seperti tantangan zaman yang terjadi saat itu, pengarang, sumber-sumber lain, sejarah, periode, dll. M. E. Kostenberger, Jesus and the Feminists, 20. Maggie Humm, ed. Feminisms A Reader, 11-2. 298 GERAKAN FEMINISME dalam hal pembagian pekerjaan dan sistem Murray yang disebut juga Kate Millet, seorang penulis, pendidik dan feminis Amerika, dalam disertasinya yang akhirnya dijadikan buku “Sexual Politics” 1968, menyatakan bahwa identitas seksual ini bukan merupakan pengalaman natural dari perempuan dan laki-laki namun sebagai pembentukan dan dampak dari keadaan sosial dan politik, demikian yang dikutip oleh Humm. Millet berpendapat bahwa seks adalah politis, terutama karena hubungan laki-laki dan perempuan ada hubungannya dengan hubungan kekuasaan. Ia berargumen, jika penerimaan terhadap supremasi laki-laki yang dianggap sebagai hak sejak lahir tidak dihilangkan, maka semua sistem penindasan terhadap perempuan akan terus berlangsung. Karena kendali laki-laki di dunia publik dan privat menimbulkan kebudayaan patriark, maka penguasaan laki-laki harus dihapuskan. Dengan demikian, jika perempuan ingin mendapat kebebasan, maka harus ada penghapusan perbedaan jenis kelamin, terutama status, peran dan temperamen seksual karena hal-hal ini telah dibangun di bawah sistem patriark.Para pembela hak perempuan di gelombang kedua ini juga berjuang menentang semua hal yang merendahkan perempuan seperti pornografi, perkosaan dan kekerasan terhadap perempuan. Sama seperti Millett, Shulamith Firestone, seorang feminist radikal di Amerika, di dalam bukunya Dialectic of Sex 1970, mengatakan bahwa untuk menghasilkan jenis pembebasan manusia ini, dibutuhkan lebih dari revolusi biologis dan sosial yaitu dengan reproduksi buatan ex utero yang nantinya akan menggantikan reproduksi alami in utero. Firestone berpendapat bahwa pada saat realita reproduksi biologis ini tertangani, maka perbedaan laki-laki dan perempuan dalam hal pengelompokan berdasarkan jenis Kate Millett, Sexual Politics Garden City, NY Doubleday, 1970, 25. SOCIETAS DEI Vol. 3, No. 2 Oktober 2016 299 kelamin dan peran seksual dapat ditiadakan, sehingga pasangan heteroseksual bukanlah cara satu-satunya untuk memperoleh keturunan. Pada waktu Firestone menulis karyanya ini, teknologi yang baru dipakai secara luas adalah mengontrol reproduksi dengan kontrasepsi, sterilisasi dan aborsi, namun tiga dekade kemudian, teknologi reproduksi seperti inseminasi dari donor, bayi tabung dan transfer embrio sudah menjadi hal yang digunakan secara umum, demikian yang didapati oleh Tong dalam bukunya Feminist Thought. Dengan demikian, pandangan ini mengarah kepada homoseksualitas. Mary Daly, seorang feminist radikal, yang mengajar di Boston College sejak 1967 sampai diberhentikan secara paksa tahun 2001, karena ia tidak mengizinkan mahasiswa laki-laki mengikuti kelasnya,sependapat dengan Firestone. Ia mengemukakan bahwa untuk memberdayakan perempuan sebagai manusia yang utuh, pembebasan kelompok berdasarkan jenis kelamin gender harus diberlakukan, bukan hanya di dalam wilayah manusia namun juga sampai wilayah Tuhan, hal ini ditemukan di dalam karya utama pertamanya Beyond God the Father Toward a Philosophy of Women’s Liberation. Ia berpendapat jika Tuhan tidak melepaskan diri-Nya dari keterikatan pada jenis kelamin tertentu maka perempuan tidak akan dapat menjadi seorang yang utuh. Daly memandang kebudayaan patriark memadamkan energi dan diri sejati perempuan, oleh karena itu ia berpesan kepada kaum perempuan untuk menghancurkan semua mitos, nama, ideologi dan struktur sosial yang dibentuk oleh laki-laki tentang Shulamith Firestone, The Dialectic of Sex New York Bantam Books, 1970, 12. Rosemarie Tong, Feminist Thought A Comprehensive Introduction, 74. Office of Public Affairs Staff, “Mary Daly Ends Suit, Agrees to Retire,” The Boston College Chronicle 9, no. 11 Feb. 15, 2001. Mary Daly, Beyond God the Father Toward a Philosophy of Women’s Liberation Boston Beacon Press, 1973, 20. 300 GERAKAN FEMINISME perempuan, serta menarik diri dari tuntutan laki-laki supaya perempuan sungguh-sungguh dapat menjadi manusia yang konsepnya ini, tidak mengherankan jika Daly memerintahkan’ para feminist untuk menarik diri, bukan hanya dari institusi heteroseksual, tetapi juga seluruh institusi dengan sistem patriark, seperti gereja, sekolah, organisasi profesional dan keluarga, demikian yang dikemukakan oleh Rosemarie Tong dalam Feminist Thought. Menurut Daly, hanya feminist lesbian radikal yang dapat bangkit mengalahkan pengalaman normal patriark laki-laki. Dengan pemikiran yang menghasilkan pandangan-pandangan yang radikal tersebut, Daly benar-benar terpisah dari kekristenan dan mewakili feminisme radikal di Amerika, demikian menurut pendapat Margaret Elizabeth Kostenberger tentang Daly. Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa pandangan Feminisme gelombang kedua semakin mengarah pada pandangan yang radikal. Hal ini juga mempengaruhi feminist Kristen di dalam membentuk teologinya terutama di dalam menginterpretasikan hal-hal yang berhubungan dengan isu kesetaraan, kepemimpinan perempuan dan peran perempuan di dalam sektor kehidupan sosial, politik dan agama. Gerakan kaum perempuan injili dimulai pada sebuah konferensi “Evangelical for Social Action” di Chicago pada tahun 1973, dan semenjak tahun 1975 sampai 1983 mulai berkembang, begitu pula ketegangan mengenai penafsiran Alkitab dan inerrancy, namun pada tahun 1986 terjadi perpecahan ketika ada perbedaan pandangan seputar isu homoseksual. Pada periode ini muncul dua organisasi di Amerika Utara, yaitu Christians for Biblical Equality CBE, suatu advokat feminisme alkitabiah atau feminisme injili yang disebut juga Mary Daly, Gyn/Ecology The Metaethics of Radical Feminism Boston Beacon Press, 1978, 381. Mary Daly, Pure Lust Elemental Feminist Philosophy Boston Beacon Press, 1984, 366. Rosemarie Tong, Feminist Thought A Comprehensive Introduction, 126. M. E. Kostenberger, Jesus and the Feminists, 53. SOCIETAS DEI Vol. 3, No. 2 Oktober 2016 301 egalitarianisme yang menekankan pada kesetaraan wanita terhadap laki-laki di berbagai bidang kehidupan. Sementara kelompok lain, yang berakar pada pendukung komplementer, menekankan adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan. Kelompok ini disebut The Council on Biblical Manhood and Womanhood CBMW. Selanjutnya, perdebatan tentang jenis kelamin dalam hal peran laki-laki dan perempuan di dalam rumah, gereja dan masyarakat semakin meruncing di antara mereka. Seiring berjalannya waktu, muncul tiga kelompok yang memperjuangkan perempuan Radical Feminists, Reformist Feminists, dan Evangelical Feminists. Penjelasan secara sederhana, kelompok Radical Feminists menolak Alkitab dan menganggap kekristenan sebagai sesuatu yang sudah tidak lagi dapat dipakai karena pandangan yang bias tentang kebudayaan patriark. Sebaliknya, mereka berfokus pada pengalaman religius feminin sebagai kunci untuk menginterpretasi. Kelompok Reformist Feminists pada dasarnya menolak tradisi Kristen tentang perempuan, namun tetap menggunakan Alkitab sebagai sarana untuk merekonstruksi teologi yang positif secara “tepat”. Bagi mereka, Alkitab itu sendiri tidak dilihat sebagai tulisan yang tidak mungkin salah inerrant atau otoritatif. Kelompok ketiga adalah kelompok Evangelical Feminist, yang mengatakan bahwa tidak ada yang harus ditolak dalam Alkitab, dan Kitab Suci dipandang sebagai pengajaran yang lengkap akan kesetaraan laki-laki dan terbaru dari feminisme sering disebut sebagai Feminisme Gelombang ketiga, yang dimulai pada awal tahun 1990-an. Gelombang ini ditandai oleh pengejaran realisasi diri yang bahkan lebih P. D. H. Cochran, Evangelical Feminism A History New York, London New York University Press, 2005, 77-109 dikutip oleh M. E. Kostenberger, di dalam Jesus and the Feminists, 22-3. Mary. A. Kassian, The Feminist Mistake The Radical Impact of Feminism on Church and Culture Wheaton, IL Crossway, 1992, 249-50. 302 GERAKAN FEMINISME radikal. Mereka menghilangkan prinsip-prinsip kekristenan secara sepenuhnya. Hal ini masih terus berkembang sampai sekarang. Isu yang diperjuangkan masih sama dengan gelombang kedua, namun lebih dalam secara intensitasnya. Laki-laki dan Perempuan dalam Perspektif Alkitab Laki-laki dan Perempuan Sebagai Ciptaan Allah yang Setara Manusia yang terdiri dari laki-laki dan perempuan adalah makhluk ciptaan Allah yang dicipta dari tanah namun adalah ciptaan yang mulia karena diciptakan segambar dan serupa dengan Allah, Sang Pencipta itu sendiri. Di dalam Kejadian 127 yang mengatakan “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Allah diciptakan-Nya dia; laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka,” Allah menghendaki manusia mengerti bahwa manusia, laki-laki maupun perempuan, adalah makhluk ciptaan yang setara secara martabat dan keberadaannya yaitu segambar dengan Allah, sang Pencipta. Richard Pratt di dalam buku Designed for Dignity mengatakan bahwa Allah tidak menjadikan Adam dan Hawa serupa dengan batu, pohon, dan binatang. Ia dengan begitu hati-hati membentuk laki-laki dan perempuan pertama itu supaya mereka menjadi serupa dengan-Nya. Ia memutuskan untuk menjadikan manusia sebagai ciptaan yang mempunyai nilai dan kemuliaan yang tiada Sproul menambahkan bahwa manusia, yang adalah gambar dan rupa Allah, memiliki kapasitas untuk berpikir rasional, berespon terhadap rangsangan dari luar dan mengolah pikiran kognitif untuk berpikir dengan logika yang baik. Hal itu dapat terjadi karena Allah memiliki pikiran, dan Allah-lah yang memberikannya kepada manusia. Allah mempunyai M. E. Kostenberger, Jesus and the Feminists, 24. Richard L Pratt Jr., Designed for Dignity What God Has Made It Possible for You to Be Phillipsburg P&R Publishing, 1993, 9. SOCIETAS DEI Vol. 3, No. 2 Oktober 2016 303 kehendak, dan Ia pun membuat keputusan, maka manusia pun demikian adanya. Manusia juga diberikan kemampuan untuk menunjukkan perasaan kasihnya, hal ini menunjukkan natur Allah yang ada di dalam kemanusiaan manusia. Laki-laki dan perempuan mempunyai kesetaraan di dalam semua kapasitasnya. Lebih jauh, Agustinus mengatakan bahwa gambar Allah adalah sebagai refleksi dari tiga pribadi Allah yang tercermin di dalam kapasitas yang berbeda namun juga merupakan kesatuan dari memori, intelektual dan kehendak. Anthony Hoekema menyetujui tentang konsep ini, ia berpendapat, ketritunggalan Allah didapati dalam hubungan laki-laki dan perempuan. Keserupaan manusia dengan Allah adalah di dalam laki-laki yang memerlukan persahabatan companionship perempuan. Laki-laki memerlukan perempuan dan perempuan memerlukan laki-laki. Hal ini merefleksikan hubungan yang erat fellowship di antara Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus. Sproul berpendapat bahwa Allah menciptakan manusia, laki-laki dan perempuan dengan nilai dan martabat yang setara. Mitos tentang subordinasi yang berarti inferioritas akan menghancurkan doktrin Tritunggal karena Allah Bapa, Allah Anak dan Allah Roh Kudus dipercaya sebagai Pribadi yang setara di dalam kemuliaan, kehormatan dan martabat, namun demikian masing-masing Pribadi tidak lebih rendah dari yang lain. Walaupun di dalam ekonomi karya keselamatan, Allah Anak taat subordinasi kepada Bapa dan Roh Kudus adalah subordinasi dari R. C. Sproul, Truths We Confess A Layman’s Guide to Westminster Confession of Faith, Volume I The Triune God Chapter 1-8 of the Confession Phillipsburg P&R Publishing, 2006, 136. St. Augustine, The Trinity The Works of St. Augustine, Vol. 5, diterjemahkan oleh Edmund Hill Brooklyn, NY New City Press, 1991 dikutip oleh Bruce A. Ware “The Glory of Man and Woman as Created by God” dalam Biblical Manhood and Womanhood diedit oleh Wayne Grudem Wheaton Crossway, 2002, 73. Anthony A. Hoekema, Created in God’s Image Grand Rapids William B. Eerdmans Publishing Company, 1986, 14. 304 GERAKAN FEMINISME keduanya. Pendapat John Frame selaras dengan pendapat Sproul, ia mengatakan bahwa subordinasi tidaklah mengurangi kapasitas manusia sebagai gambar dan rupa Allah karena tiga hal. Pertama, manusia selalu ditempatkan di dalam hubungan yang merupakan subordinasi dengan orang lain, namun tidak merendahkan keberadaan mereka sebagai gambar Allah contoh. Kel. 2012 “Hormatilah ayahmu dan ibumu…”; Roma 131 “Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya …”; Ibr. 1317 “Taatilah pemimpin-pemimpinmu dan tunduklah kepada mereka, …”. Kedua, Yesus sendiri menjadi lebih rendah dari Allah Bapa dan bahkan ada di bawah struktur otoritas manusia, untuk menyelamatkan manusia. Oleh karena itu otoritas manusia, yang menyerupai Kristus adalah justru menjadi seorang pelayan Mat. 2026-28. Kerelaan untuk menjadi lebih rendah daripada yang lain demi Allah juga merupakan komponen dari gambar dan rupa Allah. Bahkan tunduk kepada otoritas yang tidak adil sekalipun menunjukkan keserupaan dengan Kristus dan mempermuliakan Allah contoh 1Petrus 212. Ketiga, sangatlah sering terjadi, dengan merendahkan hati terhadap orang lain justru mendemonstrasikan komponen etis gambaran ilahi yaitu kasih, kesabaran, kelemahlembutan dan penguasaan diri samping argumentasi di atas, Wayne Grudem menambahkan bahwa di dalam konteks penulisan Kejadian 1-2, tindakan penamaan selalu Sproul, Truths We Confess, 133. “Milikilah cara hidup yang baik di tengah-tengah bangsa-bangsa bukan Yahudi, supaya apabila mereka memfitnah kamu sebagai orang durjana, mereka dapat melihatnya dari perbuatan-perbuatanmu yang baik dan memuliakan Allah pada hari di mana ia melawat mereka.” John M. Frame, “Men and Women in the Image of God” dalam Recovering Biblical Manhood and Womanhood A Response to Evangelical Feminism, diedit oleh John Piper dan Wayne Grudem Wheaton Crossway Books, 1991, 228. SOCIETAS DEI Vol. 3, No. 2 Oktober 2016 305 dilakukan oleh orang yang mempunyai kekuasaan atas yang ini mengindikasikan bahwa Adam yang menamai Hawa memang diberikan otoritas yang lebih tinggi daripada Hawa di dalam urutan penciptaan, namun demikian kesetaraan antara laki-laki dan perempuan tetap terlihat di dalam tindakan penamaan ini. Victor P. Hamilton, di dalam tulisannya tentang Kejadian 223, mengomentari bahwa dengan menggunakan dua kata yang berbunyi hampir sama yaitu laki-laki ish menamai perempuan ishah, penulis kitab ini ingin menekankan identitas dan kesetaraan dari kedua makhluk ciptaan ini. John Calvin menambahkan bahwa pada waktu Adam menamai Hawa, ia mendapatkan penolong sepadan yang selama ini tidak didapatinya. Calvin mengatakan bahwa Adam melihat Hawa seperti melihat another self. Dengan demikian, laki-laki melihat perempuan sebagai makhluk yang sama/setara dengan dirinya. Laki-laki dan Perempuan Setelah Kejatuhan dalam Dosa Menurut John Calvin, manusia yang sudah jatuh dalam dosa tetap merupakan gambar dan rupa Allah. Gambar Allah tidak hilang namun bentuknya rusak secara mengerikan. Pikiran dan kehendak tetap ada, Calvin menyebutnya sebagai “karunia natural” natural gifts, yang walaupun tidak hilang namun melemah dan rusak karena dosa. Walaupun demikian, Calvin menegaskan bahwa manusia harus tetap dihormati, Wayne Grudem, Evangelical Feminism & Biblical Truth An Analysis of More Than One Hundred Disputed Questions Sisters, Oregon Multnomah Publishers, 2004, 31. Victor P. Hamilton, The Books of Genesis Chapters 1-17 Grand Rapids William Eerdmans Publishing Company, 1990, 180. John Calvin, Genesis, A Geneva Series Commentary, terj. dan ed. John King Edinburgh Banner of Truth Trust, 1975, 1965, 13. John Calvin, Institutes of the Christian Religion, ed. John T. Mc. Neill, terj. Ford Lewis Battles Philadelphia Westminster, 1960, 306 GERAKAN FEMINISME dikasihi dan dibantu ketika ada yang memerlukan bantuan, karena biar bagaimanapun rusaknya manusia yang telah jatuh dalam dosa, ia adalah gambar dan rupa menambahkan bahwa walaupun dosa merusak gambar dan rupa Allah, dosa tidak menghancurkan kemanusiaan manusia. Hal ini dapat secara tepat digambarkan dengan membandingkan hubungan Allah dan manusia dengan hubungan laki-laki dan perempuan. Sebagaimana Alkitab menekankan kemiripan antara Allah dan manusia demikian juga halnya antara laki-laki dan perempuan Kej. 223. Keberadaan manusia adalah untuk membantu’ Allah menggenapi rencana-Nya, perempuan adalah untuk menolong laki-laki Kej. 220, kedua hubungan itu disakiti karena dosa, tetapi kemiripan yang fundamental fundamental likeness yang menjadi dasar antara laki-laki dan perempuan tetap dan Perempuan Setara dalam Anugerah Keselamatan Kesetaraan laki-laki dan perempuan juga terdapat di dalam laki-laki dan perempuan yang ditebus oleh Kristus, demikian yang dikatakan oleh Bruce A. Ware di dalam buku Biblical Manhood and Womanhood. Ia mengutip tulisan Paulus di dalam Galatia 326-29 “semua yang dibaptis dalam Kristus telah mengenakan Kristus, karena itu laki-laki dan perempuan sama, yang “Lalu berkatalah manusia itu “Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan karena diambil dari laki-laki.” Walaupun sebenarnya Allah tidak perlu dibantu oleh manusia, namun Allah ingin menggenapi rencana-Nya melibatkan manusia sebagai alat-Nya. “Allah memberkati mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka “Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, …” “manusia itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan, tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia.” John Frame, “Men and Women in the Image of God” dalam Recovering Biblical Manhood and Womanhood, 226. SOCIETAS DEI Vol. 3, No. 2 Oktober 2016 307 oleh karena iman disebut anak-anak Allah berhak menerima seluruh janji Kristus”. Ia melihat, ide yang sama juga dikatakan oleh Petrus ketika memerintahkan para suami yang percaya untuk menunjukkan sikap hormat kepada istrinya sebagai teman pewaris dari anugerah kehidupan dalam Kristus 1 Pet. 37. Suami dan istri Kristen berdiri sama tinggi di dalam Kristus, keduanya diselamatkan oleh iman, keduanya dipersatukan dengan Kristus, dan keduanya adalah pewaris penuh kekayaan Kristus. Ayat-ayat di dalam Perjanjian Baru ini merefleksikan pengajaran Alkitab yang sangat jelas bahwa laki-laki dan perempuan setara di dalam kemanusiaannya Kej. 126-27, oleh sebab itu setara juga di dalam kepenuhan karya penebusan Kristus bagi mereka. Menurut Calvin yang dikutip oleh T. F Torrance dalam bukunya Calvin’s Doctrine of Man, penebusan adalah pembaharuan gambar Allah sebagai karya Roh Kudus, dikatakan bahwa “jika melihatnya dari sisi Allah, gambar Allah diperbaharui oleh Roh Kudus dengan memakai Firman Allah sebagai alat-Nya. Akan tetapi jika melihatnya dari sisi manusia, pembaharuan gambar Allah digenapi di dalam iman. Iman adalah suatu gerakan dari respons manusia terhadap Firman Allah yang olehnya manusia menjadi selaras dengan Allah yaitu gambar dan rupa Allah.” Dengan perkataan lain, Roh Kudus memperbaharui manusia melalui Firman, dan manusia dimampukan oleh Roh Kudus berespons terhadap Firman melalui iman. Frame menjelaskan lebih lanjut bahwa pembaharuan dan keselamatan itu adalah karya Allah yang digenapi oleh Allah Anak yaitu Yesus Kristus. Adam merusak gambar dan rupa Allah ketika jatuh dalam dosa, namun Bruce A. Ware, “Male and Female Complementarity and the Image of God” dalam Biblical Foundation for Manhood and Womanhood, diedit oleh Wayne Grudem Wheaton, IL Crossway, 2002, 80. T. F. Torrance, Calvin’s Doctrine of Man London Lutterworth, 1949, 80-1. 308 GERAKAN FEMINISME Yesus, sebagai Adam kedua, menjadikan gambar Allah terhormat dan memuliakan Allah yang diwakili-Nya. Keselamatan memindahkan manusia dari kemanusiaan lamanya yang mati di dalam Adam, kepada kemanusiaan yang baru dan hidup di dalam Kristus 1 Kor 1522. Melalui keselamatan, Tuhan menghapus distorsi gambar Allah karena dosa dan memimpinnya kembali kepada keserupaan Allah yang sempurna. Manusia diubah oleh Roh Kudus dengan kelahiran kembali dan pembaharuan hati, sehingga manusia mempunyai kapasitas, walaupun hanya untuk beberapa derajat, kembali mencerminkan dan merefleksikan karakter Allah. Itulah yang seharusnya manusia, yaitu laki-laki dan perempuan, lakukan sebagai gambar dan rupa Allah. Laki-laki dan Perempuan Setara dalam Melaksanakan Mandat Budaya Allah menciptakan Adam dan Hawa dengan seluruh perlengkapan dan kemampuan yang dibutuhkan untuk merefleksikan kebenaran dan kesucian Allah yang sejati kepada alam ciptaan. Laki-laki dan perempuan yang setara sebagai gambar Allah, yang walaupun berbeda dalam perbedaan otoritas dan ketundukannya, dipanggil untuk menjadi wakil Tuhan atas seluruh ciptaan, mengamalkan kekuasaan, otoritas dan kehadiran Allah, yang dikenal sebagai tugas mandat budaya. Kej. 128.Menurut Pratt, Allah sebenarnya tidak sulit untuk memenuhi bumi ini dengan hadirat-Nya, namun Ia memilih untuk menegakkan otoritas-Nya di bumi melalui cara-cara yang dapat dipahami oleh manusia. Seperti raja-raja zaman dahulu memenuhi kerajaan mereka dengan patung mereka untuk “Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus.” John Frame, “Men and Women in the Image of God” dalam Recovering Biblical Manhood and Womanhood, 226, Italic ditambahkan oleh penulis. John Frame, “Men and Women in the Image of God”, 231-2. SOCIETAS DEI Vol. 3, No. 2 Oktober 2016 309 menyatakan kuasanya, Allah berkata “Bertambah-tambahlah dirimu, Aku ingin gambar-gambar-Ku tersebar di seluruh muka bumi.” Demikian juga seperti seorang raja yang menganugerahkan otoritas kepada patung-patungnya, Allah memerintahkan gambar-gambar-Nya untuk bertakhta di atas bumi ini “Taklukkanlah dan berkuasalah, Aku memberimu otoritas untuk menjadi wakil-Ku di dalam dunia-Ku”.Pendapat yang terdistorsi tentang penciptaan Hawa adalah pernyataan bahwa Allah menciptakan Hawa sebagai hamba Adam. Sproul menjawab argumentasi ini dengan analogi yang tepat bahwa Allah menugaskan baik laki-laki maupun perempuan untuk menguasai alam Kej. 128 dengan menjadikan Adam sebagai raja, yang wilayah kekuasaannya adalah bumi ini, dan Hawa sebagai ratunya bukan hambanya. Raja dan ratu ini sepenuhnya menyatakan dan mempertunjukkan gambar dan rupa Allah. Jadi mereka adalah makhluk ciptaan yang setara. Dari kenyataan bahwa Allah memberkati manusia dan memberi mereka mandat budaya Hoekema berpendapat bahwa manusia juga menyerupai Allah sebagai pribadi yang bertanggung jawab, dan pribadi yang mempertanggungjawabkan segala sesuatunya kepada Allah sebagai Penciptanya dan Penguasanya. Di sini Allah dinyatakan sebagai sesosok pribadi yang dapat membuat keputusan dan memerintah. Hoekema meneliti lebih jauh tentang ayat 28, pada waktu Tuhan memberkati manusia untuk beranak cucu dan memenuhi bumi, hanya di sini, kata kerjanya di dalam bentuk jamak orang kedua, yang ditujukan kepada orang tua pertama di dunia ini. Perintah untuk beranak cucu ini menyiratkan adanya institusi pernikahan, yang Tuhan ciptakan untuk menjalankan mandat budaya ini. Dalam memberikan berkatnya, Allah tidak meninggalkan manusia, Ia berjanji akan memampukan manusia untuk Richard Pratt Jr., Designed for Dignity, 22-3. Sproul, Truths We Confess, 133. 310 GERAKAN FEMINISME menguasai bumi dan beranak cucu yang akan memenuhi bumi. Di dalam berkat ini terkandung juga perintah atau mandat yang harus dilaksanakan oleh laki-laki dan perempuan untuk menguasai bumi dan untuk mengembangkan kebudayaan yang memuliakan terhadap Feminisme Pandangan pejuang pembela hak perempuan memandang subordinasi dan dominasi laki-laki sebagai hal yang harus ditolak, karena subordinasi dimengerti sebagai inferioritas lebih rendah dan dominasi laki-laki dimengerti sebagai penindasan terhadap perempuan. Hal ini dapat dipahami karena sampai abad ke-18, perempuan mengalami tekanan dan tidak mempunyai kesempatan yang sama dengan laki-laki sehingga mereka sangat sensitif akan isu subordinasi dan dominasi laki-laki ini. Perjuangan kaum feminist merupakan reaksi dari suatu keadaan yang di dalamnya sudah terjadi penyimpangan yang berlebihan atas dominasi laki-laki terhadap perempuan. Mereka memperjuangkan kesetaraan perempuan dengan maksud kaum perempuan mendapat hak asasi yang seharusnya mereka dapatkan. Semua hal yang mereka lakukan diperuntukkan untuk mengangkat harkat perempuan yang sudah terpuruk. Namun, yang perlu diwaspadai di sini adalah mereka melakukan segala sesuatu atas nama perempuan. Hal inilah yang membuat pandangan dan cara pikir mereka tereduksi. Mereka melihat segala bidang kehidupan hanya dari perspektif perempuan, mereka menjadi sangat subyektif. Mereka bukan hanya memperjuangkan kesetaraan dengan laki-laki namun lebih jauh menolak dominasi bahkan menolak laki-laki itu sendiri. Hal ini dapat dilihat di dalam sejarah Feminisme bahwa perjuangan yang tadinya dilakukan untuk memperoleh hak asasi berubah menjadi gerakan yang menyimpang ke arah Anthony Hoekema, Created in God’s Image, 11-2. SOCIETAS DEI Vol. 3, No. 2 Oktober 2016 311 yang radikal. Terbukti dengan para pembela hak perempuan seperti Firestone yang berusaha untuk meniadakan perbedaan jenis kelamin dan menghindari pernikahan berbeda jenis dangan mengusahakan prokreasi dengan memproklamirkan teknologi reproduksi seperti bayi tabung dan inseminasi buatan dari donor. Juga, Daly yang “memerintahkan” para penganut Feminisme untuk menolak segala institusi dengan sistem patriark. Memang tidak dipungkiri bahwa teologi Feminisme Kristen ini telah membawa nuansa dan wawasan yang baru bagi gereja dan keluarga; para suami menjadi lebih menghormati istri mereka di dalam kehidupan keluarga dan membuat gereja melihat pentingnya memberi kesempatan yang lebih luas bagi perempuan mengambil bagian di dalam pelayanan gerejawi, demikian pendapat Wayne Grudem di dalam bukunya Evangelical Feminism A New Path to Liberalism?Bahkan Richard Bauckham menambahkan bahwa ada wawasan baru yang dibukakan oleh para kaum terpelajar feminist dalam melihat para perempuan di dalam Injil, yang sebelumnya kaum terpelajar scholar laki-laki tidak menemukan bahwa bagian tersebut cukup menarik untuk diteliti. Namun ada masalah yang ditimbulkan ketika mereka melihat Alkitab dengan sudut pandang yang direduksi hanya dari perspektif perempuan saja. Menurut Bauckham, cara menginterpretasi yang digunakan oleh pembela hak perempuan ini adalah interpretasi kecurigaan’ hermeneutic of suspicion sebagai prinsip yang mengontrol pembacaan teks di dalam Alkitab, sehingga hasil interpretasinya sudah diarahkan dengan pendekatan dan metodologi yang sudah ditentukan sebagai titik awalnya the methodological starting point and approach. Inilah yang membuat pengertian dan pembacaan Alkitab Wayne Grudem, Evangelical Feminism A New Path to Liberalism? Wheaton Crossway Books, 2006, 11. Richard Baucham, Gospel Women Studies of the Named Women in the Gospels Grand Rapids William B. Eerdmans Publishing Company, 2002, xiii. 312 GERAKAN FEMINISME menjadi berbeda. Pendekatan yang digunakan para penganut Feminisme Kristen ini membawa pengaruh yang besar terhadap pengertian subordinasi. Pengertian subordinasi yang menempatkan perempuan lebih rendah dan menjadi kaum yang tertindas, membuat kaum pembela hak perempuan dan egalitarian melihat Alkitab secara berbeda, khususnya di dalam isu kesetaraan relasi laki-laki dan perempuan. Sebagai gambar dan rupa Allah, laki-laki dan perempuan setara sebelum kejatuhan. Namun setelah kejatuhan—di dalam pengertian penganut feminisme—perempuan menjadi lebih rendah, ketundukan kepada laki-laki dianggap kutukan sehingga menolak semua bentuk dominasi termasuk kekuasaan Allah. Hal ini membuat kaum pembela hak perempuan menempatkan laki-laki dan perempuan sebagai pihak yang beroposisi dan juga menempatkan perempuan beroposisi dengan Allah, Sang Pencipta. Pengertian subordinasi yang tidak tepat ini mempengaruhi seluruh pandangan kaum pembela hak perempuan tentang konsep keselamatan, posisi perempuan di dalam pernikahan dan juga pelayanan gereja. Mereka menolak semua bentuk ketundukan terhadap laki-laki. Di dalam keselamatan, mereka menyempitkan pengertian pemulihan ciptaan dalam konteks terbebas dari dominasi dan penindasan laki-laki bukan menitikberatkan pada restorasi ciptaan menjadi manusia baru di dalam hubungannya dengan Allah. Di dalam melaksanakan mandat budaya, perempuan, yang mempunyai kapasitas yang sama dengan laki-laki, diberikan tugas dan tanggung jawab yang sama. Perempuan dianggap mempunyai otoritas yang sama dengan laki-laki sehingga tidak perlu tunduk terhadap otoritas laki-laki. Di dalam perannya sebagai istri, kaum pembela hak perempuan mempertanyakan peran istri sebagai penolong dan ketundukan kepada suaminya, mereka menuntut ketundukan yang saling timbal balik dan menolak kepemimpinan suami sebagai kepala istri. Di dalam pelayanan gereja, kaum feminist berargumen bahwa larangan perempuan mengajar dan memimpin itu SOCIETAS DEI Vol. 3, No. 2 Oktober 2016 313 karena konteks yang terjadi pada saat penulisan Alkitab terjadi, dan bukan merupakan perintah yang universal karena perempuan juga harus diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki dalam mengembangkan karunia yang Tuhan berikan kepadanya. Dari pembahasan ini, jelas terlihat bahwa pengertian subordinasi yang tidak tepat dengan wahyu Allah yang dikatakan di dalam Kitab Suci, berdampak besar dalam membaca dan mengerti Alkitab, terutama tentang relasi laki-laki dan perempuan ini. Secara umum, Campbell menyimpulkan feminists read Scripture through the screen of their own ideological convictions rather than reading Scripture itself. Menurut pandangan Alkitab, subordinasi tidak berarti inferioritas. Allah menempatkan perempuan di dalam subordinasi terhadap laki-laki tanpa mengurangi nilai dan kemuliaannya sebagai gambar dan rupa Allah. Perempuan tidak perlu menolak kepemimpinan laki-laki karena perempuan tetap ciptaan Allah yang setara dengan laki-laki di dalam kapasitas dan di dalam melaksanakan mandat budaya. Di dalam keluarga, Allah telah menetapkan peraturan bagi suami tentang bagaimana memperlakukan istri dengan meneladani Kristus yang mengasihi jemaat dengan tanpa syarat. Perempuan ditempatkan di bawah kepemimpinan laki-laki dengan maksud untuk dikasihi, dilindungi dan diperhatikan kesejahteraannya bahkan suami harus rela berkorban untuk istrinya sama seperti Kristus yang rela berkorban untuk menyelamatkan gereja-Nya. Cynthia M. Campbell, “Feminist Theologies and the Reformed Tradition” dalam Major Theses in the Reformed Tradition, Donald K. Mc Kim, ed. Grand Rapids William B. Eerdmans Publishing Company, 1992, 428. ... Perbincangan tentang kesetaraan gender di Indonesia sudah ada sejak tahun 1990-an. Hal ini ditandai dengan adanya gerakan feminisme di Indonesia yang menuntut agar kaum perempuan mendapatkan hak-hak yang sama di lingkungan masyarakat Gunawan, 2017. Walaupun demikian, sebagian besar orang khususnya yang tinggal di berbagai wilayah desa di Indonesia, masih salah mengartikan hal tersebut. ... Yunardi Kristian ZegaGender equality is still an interesting issue to be discussed today. Most people, especially those living in various regions in Indonesia, still misinterpret this. Gender equality is seen as an act that puts women first. In Christian circles, this thought is caused by Christian leaders in the past who gave teachings about gender who had unfair treatment between men and women. To provide a solution to these problems, the author uses qualitative research with the literature study method. The author finds that, gender is a characteristic that can be exchanged between each other and can be shared by both. Allah distinguishes the sexes but does not differentiate between the roles of the two. Thus, PAK plays a vital role in building gender understanding in the family and community, especially in the field of education, and in the field of education. AbstrakKesetaraan gender masih menjadi isu menarik untuk diperbincangkan hingga saat ini. Sebagian besar masyarakat khususnya yang tinggal di berbagai wilayah di Indonesia, masih salah mengartikan hal tersebut. Kesetaraan gender seolah-olah dianggap sebagai tindakan menomorsatukan perempuan. Dalam lingkungan Kristen, pemikiran ini disebabkan karena adanya para tokoh Kristen di masa lalu yang memberikan ajaran tentang gender yang membuahkan perlakuan tidak adil antara laki-laki dengan perempuan. Untuk memberi solusi permasalahan tersebut, penulis menggunakan penelitian kualitatif dengan metode studi pustaka. Penulis menemukan bahwa, gender adalah sebuah karakteristik yang dapat saling dipertukarkan antara satu sama lain dan dapat dimiliki oleh keduanya. Allah membedakan jenis kelamin manusia tetapi tidak membedakan peran antara keduanya. Dengan demikian, PAK berperan penting untuk membangun pemahaman kesetaraan gender di dalam lingkungan keluarga, masyarakat khususnya di bidang pendidikan, dan di Yosua Sualang Samgar Setia BudhiJani JaniGenesis 2 deals a lot with a description of the time, reason, manner and outcome of Genesis regarding the creation of male and female relationships, especially the second part in Genesis 218-25. The scope of the discussion 218-22 is widely discussed using contemporary issues with the lens of social, psychology and anthropology. Likewise, the issues of biblical research on its use of canonical and non-canonical texts. By using the sub-hermeneutic qualitative method Exegesis, the author finds that God's initiative for the purpose of His creation to humans can be observed through repetion parallelism stair parallelism in the scope of Genesis 218-22 “God said…,” “God formed… ,” God created…” and “God created…”. This can be observed when initiative God created a woman by observing the word image and likeness of God, so as not to emphasize the superiority and inferiority between men and women. Kejadian 2 banyak membahas suatu deskripsi waktu, alasan, cara dan hasil mengenai Kejadian penciptaan hubungan laki-laki dan perempuan, khususnya bagian kedua dalam kejadian 218-25. Lingkup pembahasan 218-22 banyak dibahas dengan menggunakan isu-isu kontemporer dengan lensa sosial, psikologi, antropologi. Begitu pun, isu-isu penelitian biblika terhadap penggunaannya terhadap teks kanonik dan non-kanonik. Dengan menggunakan metode kulitatif sub-hermeneutik Eksegesis, penulis menemukan bahwa inisiatif Allah atas tujuan ciptaanNya kepada manusia dapat diperhatikan melalui paralelisme repetisi paralelisme bertangga dalam lingkup Kejadian 218-22 “Tuhan Allah berfirman…,” “Tuhan Allah membentuk…,” Tuhan Allah membuat…” dan “Tuhan Allah menciptakan…”. Ini dapat dicermati ketika inisiatif Allah menciptakan seorang perempuan dengan mencermati kata gambar dan rupa Allah, sehingga tidak menekankan superioritas dan inferioritas antara laki-laki dan Eduard SiraitLatar belakang penelitian ini adalah ketidakmampuan pemerintah mewujudkan kesetaraan pendidikan bagi warga negara Indonesia, termasuk akses dan kualitasnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis kesetaraan pendidikan dari perspektif kristiani. Fokus penelitian ini berada pada percakapan dan analisis kesetaraan pendidikan. Harapannya, hasil riset ini dapat menjadi refleksi bagi institusi pendidikan Kristen untuk memikirkan kesetaraan pendidikan bagi warga gereja dan masyarakat pada umumnya. Penelitian ini memakai metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan pemikiran filosofis-teologis Kristiani. Penelitian ini melakukan studi literatur dengan pengumpulan informasi yang relevan. Hasil penelitian memperlihatkan kendala terwujudnya kesetaraan pendidikan, yaitu adanya komersialisasi pendidikan, sulitnya mencari donatur yang dermawan untuk pendidikan, rendahnya mutu sumber daya manusia dan faktor ekonomi masyarakat. Supaya dapat mewujudkan kesetaraan pendidikan tersebut maka pendidikan perlu mendapat sokongan gereja, lembaga pendidikan, melakukan pemberdayaan bagi masyarakat dan meningkatkan mutu paraktisi pendidik serta menyelenggarakan pendidikan Books of Genesis Chapters 1-17P VictorHamiltonVictor P. Hamilton, The Books of Genesis Chapters 1-17 Grand Rapids William Eerdmans Publishing Company, 1990, New Path to Liberalism?Wayne GrudemEvangelical FeminismWayne Grudem, Evangelical Feminism A New Path to Liberalism? Wheaton Crossway Books, 2006, 11. . 489 436 403 198 343 296 425 289

ayat alkitab tentang kesetaraan gender